Jumat, 26 Oktober 2012

Dero (Modero)

Dero, bagi masyarakat sulawesi tengah khususnya masyarakat Poso tentunya familiar akan tarian ini bahkan mungkin bisa menarikan tarian ini. Tarian dero merupakan tarian asli yang berasal dari daerah Poso. Tarian dero melambangkan sukacita atau rasa syukur dari masyarakat Poso. Tarian dero biasanya dilakukan pada saat acara-acara spesial seperti tradisi pengucapan syukur (padungku) akan hasil pertanian, acara pernikahan atau hari raya keagamaan. Pada dasarnya tarian ini dilakukan atas dasar sukacita dan ucapan syukur penarinya.

Tarian ini dilakukan tanpa melihat umur, jenis kelamin, strata sosial masyarakat, dengan kata lain tarian ini adalah tarian massal yang melibatkan semua komponen masyarakat dari anak kecil sampai orang dewasa, pria maupun wanita, orang biasa ataupun Tadulako (pemimpin/raja), semua orang bisa bersama-sama menarikan tarian ini. Oleh karena itu, Tarian dero ini biasanya dilakukan ditempat yang cukup luas, seperti lapangan sepakbola atau tempat-tempat luas lainnya.

Tarian dero ini sangat mudah untuk dilakukan, bahkan untuk orang yang belum pernah melakukan tarian ini sebelumnya. Tarian ini dilakukan secara bergandengan tangan, kaki dihentakan sekali ke kiri dan dua kali kearah kanan sehingga bergerak memutar mengikuti nyanyian pantun (kayori) sahut-menyahut yang dinyanyikan oleh salah seorang yang sedang ikut menari kemudian diikuti nyanyian pantun bersama oleh seluruh penari dero. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian inipun sangat khas, yaitu ganda (gendang) dan nggongi (sejenis gong) yang ditabuh bergantian oleh para pemuda.

Tarian dero ini bukan hanya diidentikan sebagai tarian ucapan syukur saja, tapi tarian ini juga bisa diidentikan sebagai tarian pemersatu masyarakat tana Poso, karena disini tidak ada unsur diskriminasi dan perbedaan status diantara penari-penarinya. Dan khususnya bagi muda-mudi tarian ini digunakan sebagai ajang mencari jodoh/pacar. Karena sebagian besar peserta tarian ini diikuti para kaum muda maka mereka yang masih lajang mengharapkan akan mendapatkan jodoh atau pasangan melalui tarian dero.

Namun, seiring dengan perkembangannya, tarian ini sudah terkontaminsasi budaya-budaya luar, makna tarian ini sudah mulai bergeser dan memudar, mulai dari tahun 2000-an tarian ini tidak lagi diiringi oleh ganda dan nggongi, karena organ dengan sound system yang memadai sukses menggeser kedua alat musik tradisional tersebut. Nyanyian pantunnya-pun tidak dilakukan secara sahut-sahutan tetapi dinyanyikan oleh seorang penyanyi yang biasanya sepaket dengan organ-nya. Lagu-lagunya-pun sekarang lebih banyak yang bertemakan percintaan bukan lagi rasa syukur. 

Tariannya sudah banyak modifikasi, kalau yang dulunya tarian ini dilakukan seragam, namun sekarang tidak lagi, dibeberapa tempat bisa ditemukan dari penari-penarinya yang semaunya meng-improfisasi tariannya sehingga terlihat kacau dan tidak seragam. Makna tariannya yang dulunya tarian sukacita, sekarang tidak lagi, sekarang lebih terlihat sebagai ajang pamer dan tidak jarang terjadi perkelahian.

Dan sekarang, saya tidak tahu apakah ini patut dibanggakan atau tidak, saat ini sudah ada dero toraja dan dero minahasa, kalau dilihat tidak ada tarian dero didalam dero toraja dan dero minahasa, tapi hanya nada dan musik lagunya saja yang sama tapi liriknya memakai bahasa asli kedua daerah tersebut.

Sebagai orang Poso seharusnya kita bukan hanya bisa menarikan tarian dero ini tetapi kita juga harus bisa menjaganya sebagai warisan dari nenek moyang kita dari pengaruh luar maupun dalam. Terima kasih.

Semoga bermanfaat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar