Dero, bagi masyarakat sulawesi
tengah khususnya masyarakat Poso tentunya familiar akan tarian ini bahkan
mungkin bisa menarikan tarian ini. Tarian dero merupakan tarian asli yang
berasal dari daerah Poso. Tarian dero melambangkan sukacita atau rasa syukur
dari masyarakat Poso. Tarian dero biasanya dilakukan pada saat acara-acara
spesial seperti tradisi pengucapan syukur (padungku)
akan hasil pertanian, acara pernikahan atau hari raya keagamaan. Pada dasarnya
tarian ini dilakukan atas dasar sukacita dan ucapan syukur penarinya.
Tarian ini dilakukan tanpa melihat
umur, jenis kelamin, strata sosial masyarakat, dengan kata lain tarian ini
adalah tarian massal yang melibatkan semua komponen masyarakat dari anak kecil
sampai orang dewasa, pria maupun wanita, orang biasa ataupun Tadulako (pemimpin/raja), semua orang
bisa bersama-sama menarikan tarian ini. Oleh karena itu, Tarian dero ini
biasanya dilakukan ditempat yang cukup luas, seperti lapangan sepakbola atau
tempat-tempat luas lainnya.
Tarian dero ini sangat mudah untuk
dilakukan, bahkan untuk orang yang belum pernah melakukan tarian ini
sebelumnya. Tarian ini dilakukan secara bergandengan tangan, kaki dihentakan
sekali ke kiri dan dua kali kearah kanan sehingga bergerak memutar mengikuti
nyanyian pantun (kayori) sahut-menyahut
yang dinyanyikan oleh salah seorang yang sedang ikut menari kemudian diikuti
nyanyian pantun bersama oleh seluruh penari dero. Alat musik yang digunakan
untuk mengiringi tarian inipun sangat khas, yaitu ganda (gendang) dan nggongi (sejenis gong) yang ditabuh bergantian
oleh para pemuda.
Tarian dero ini bukan hanya
diidentikan sebagai tarian ucapan syukur saja, tapi tarian ini juga bisa
diidentikan sebagai tarian pemersatu masyarakat tana Poso, karena disini tidak
ada unsur diskriminasi dan perbedaan status diantara penari-penarinya. Dan
khususnya bagi muda-mudi tarian ini digunakan sebagai ajang mencari jodoh/pacar.
Karena sebagian besar peserta tarian ini diikuti para kaum muda maka mereka
yang masih lajang mengharapkan akan mendapatkan jodoh atau pasangan melalui
tarian dero.
Namun, seiring dengan
perkembangannya, tarian ini sudah terkontaminsasi budaya-budaya luar, makna
tarian ini sudah mulai bergeser dan memudar, mulai dari tahun 2000-an tarian
ini tidak lagi diiringi oleh ganda
dan nggongi, karena organ dengan sound system yang memadai sukses
menggeser kedua alat musik tradisional tersebut. Nyanyian pantunnya-pun tidak
dilakukan secara sahut-sahutan tetapi dinyanyikan oleh seorang penyanyi yang
biasanya sepaket dengan organ-nya. Lagu-lagunya-pun sekarang lebih banyak yang
bertemakan percintaan bukan lagi rasa syukur.
Tariannya sudah banyak modifikasi,
kalau yang dulunya tarian ini dilakukan seragam, namun sekarang tidak lagi,
dibeberapa tempat bisa ditemukan dari penari-penarinya yang semaunya
meng-improfisasi tariannya sehingga terlihat kacau dan tidak seragam. Makna
tariannya yang dulunya tarian sukacita, sekarang tidak lagi, sekarang lebih
terlihat sebagai ajang pamer dan tidak jarang terjadi perkelahian.
Dan sekarang, saya tidak tahu apakah
ini patut dibanggakan atau tidak, saat ini sudah ada dero toraja dan dero
minahasa, kalau dilihat tidak ada tarian dero didalam dero toraja dan dero
minahasa, tapi hanya nada dan musik lagunya saja yang sama tapi liriknya
memakai bahasa asli kedua daerah tersebut.
Sebagai orang Poso seharusnya kita
bukan hanya bisa menarikan tarian dero ini tetapi kita juga harus bisa
menjaganya sebagai warisan dari nenek moyang kita dari pengaruh luar maupun
dalam. Terima
kasih.
Semoga bermanfaat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar